‘’’ MAKNA HARY RAYA SIWERATRI “”
Perayaan Siwa Ratri adalah
salah satu bentuk ritual Hindu yang mengajarkan kita untuk selalu memelihara
kesadaran diri agar terhindar dari perbuatan dosa dan papa. Diakui atau tidak,
manusia sering lupa, karena memiliki keterbatasan. Kerena sering mengalami lupa
itu, maka setiap tahun pada sasih kepitu (bulan ketujuh menurut penanggalan
Bali), dilangsungkan upacara Siwa Ratri dengan inti perayaan malam pejagraan.
Pejagraan yang asal katanya jagra itu artinya sadar, eling atau melek. Orang
yang selalu jagralah yang dapat menghindar dari perbuatan dosa.
Dalam Bhagavadgita III,
42, dinyatakan, orang akan memiliki alam pikiran jernih, apabila atman atau
jiwa yang suci itu selalu menyinari budhi atau alam kesadaran. Budhi
(kesadaran) itu menguasai manah (pikiran). Manah menguasai indria. Kondisi alam
pikiran yang struktural dan ideal seperti itu amat sulit didapat. Ia harus
selalu diupayakan dengan membangkitkan kepercayaan pada Tuhan sebagai pembasmi
kegelapan jiwa. Siwa Ratri (Ratri juga sering ditulis Latri) adalah malam untuk
memusatkan pikiran pada Sanghyang Siwa guna mendapatkan kesadaran agar
terhindar dari pikiran yang gelap. Karena itu, Siwa Ratri lebih tepat jika
disebut ”malam kesadaran” atau ”malam pejagraan”, bukan ”malam penebusan dosa”
sebagaimana sering diartikan oleh orang yang masih belum mendalami agama.
Memang, orang yang selalu
sadar akan hakikat kehidupan ini, selalu terhindar dari perbuatan dosa. Orang
bisa memiliki kesadaran, karena kekuatan budhinya (yang menjadi salah satu
unsur alam pikiran) yang disebut citta. Melakukan brata Siwa Ratri pada
hakikatnya menguatkan unsur budhi. Dengan memusatkan budhi tersebut pada
kekuatan dan kesucian Siwa sebagai salah satu aspek atau manifestasi Sang Hyang
Widhi Wasa, kita melebur kegelapan yang menghalangi budhi dan menerima sinar
suci Tuhan. Jika budhi selalu mendapat sinar suci Tuhan, maka budhi akan
menguatkan pikiran atau manah sehingga dapat mengendalikan indria atau Tri Guna.
Siwa Ratri pada hakikatnya
kegiatan Namasmaranâm pada Siwa. Namasmaranâm artinya selalu mengingat dan
memuja nama Tuhan yang jika dihubungankan dengan Siwa Ratri adalah nama Siwa.
Nama Siwa memiliki kekuatan untuk melenyapkan segala kegelapan batin. Jika
kegelapan itu mendapat sinar dari Hyang Siwa, maka lahirlah kesadaran budhi
yang sangat dibutuhkan setiap saat dalam hidup ini. Dengan demikian, upacara
Siwa Ratri sesungguhnya tidak harus dilakukan setiap tahun, melainkan bisa
dilaksanakan setiap bulan sekali, yaitu tiap menjelang tilem atau bulan mati.
Sedangkan menjelang tilem kepitu (tilem yang paling gelap) dilangsungkan
upacara yang disebut Maha Siwa Ratri. Untuk dapat mencapai kesadaran,
kita bisa menyucikan diri dengan melakukan sanca. Dalam Lontar Wraspati Tattwa
disebutkan, Sanca ngaranya netya majapa maradina sarira. Sanca itu artinya
melakukan japa dan membersihkan tubuh. Sedang kitab Sarasamuscaya menyebutkan,
Dhyana ngaranya ikang Siwasmarana, artinya, dhyana namanya (bila) selalu
mengingat Hyang Siwa.
Di India, setiap menjelang
bulan mati (setiap bulan) umat Hindu menyelenggarakan Siwa Ratri dan tiap tahun
merayakan Maha Siwa Ratri. Keutamaan brata Siwa Ratri banyak diuraikan dalam
pustaka berbahasa Sanskerta, Jawa Kuno dan Bali. Ini suatu pertanda, bah-wa
Siwa Ratri dari sejak dahulu sudah dirayakan baik oleh umat Hindu di India,
maupun di Jawa dan Bali. Dalam kepustakaan Sanskerta, keutamaan brata Siwa
Ratri diuraikan dalam kitabkitab Purana, misalnya Siwa Purana, Skanda Purana,
Garuda Purana dan Padma Purana. Siwa Purana, pada bagian Jñana Samhita
memaparkan keutamaan brata Siwa Ratri dan tata-cara merayakan malam suci
terbut. Di situ ada dimuat tentang dialog antara seseorang bernama Suta dan
para rsi. Dalam percakapan tersebut, dikisahkanl seseorang yang kejam bernama
Rurudruha. Ia menjadi sadar akan dosa-dosa yang telah diperbuat setelah
melakukan brata Siwa Ratri. Berkat bangkitnya kesadarannya, ia tinggalkan semua
perbuatan dosa, lalu dengan mantap berjalan di jalan dharma.
Di antara berbagai brata,
mengunjungi tempat suci, memberi dana punya yang mahal seperti batu mulia (emas
dan permata), melakukan berbagai jenis upacara Yajña, berbagai jenis tapa dan
melakukan berbagai kegiatan Japa atau mantra untuk memuja
keagungan-Nya,semuanya itu tidak ada yang melebih keutamaan brata Sivaratri.
Sejalan dengan pernyataan
di atas, kakawin Sivaratri Kalpa menyatakan keutamaan Brata Sivaratri seperti
diwedarkan oleh Sang Hyang Siva sebagai berikut: ”Setelah
seseorang mampu melaksanakan Brata sebagai yang telah Aku ajarkan, kalahlah
pahala dari semua upacara Yajña, melakukan tapa dan dana punya demikian pula
menyucikan diri ke tempat-tempat suci, pada awal penjelmaan, walaupun seribu
bahkan sejuta kali menikmati Pataka (pahala dosa dan papa), tetapi dengan
pahala Brata Sivaratri ini, semua Pataka itu lenyap”.
”Walaupun benar-benar sangat jahat, melakukan
perbuatan kotor, menyakiti kebaikan hati orang lain, membunuh pandita (orang
suci) juga membunuh orang yang tidak bersalah, congkak dan tidak hormat kepada
guru, membunuh bayi dalam kandungan, seluruh kepapaan itu akan lenyap dengan
melakukan Brata Sivaratri yang utama, demikianlah keutamaan dan ketinggian
Brata (Sivaratri) yang Aku sabdakan ini” (Sivaratri kalpa, 37, 7-8) Sumber
Sastra itihasa Dalam Itihasa, Sivaratri terdapat dalam Mahabharata, yaitu pada
Santi Parva, dalam episode ketika Bhisma sedang berbaring di atas anak-anak
panahnya Arjuna, menunggu kematian, sambil membahas dharma, mengacu kepada
perayaan Maha Sivaratri oleh raja Citrabhanu, raja Jambudvipa dari dinasti
Iksvaku. Raja Citrabhanu bersama istrinya melakukan upavasa pada hari Maha
Sivaratri. Rsi Astavakra bertanya: “Wahai
sang raja, mengapa kalian berdua melakukan upavasa pada hari ini? Sang raja
dianugerahi ingatan akan punarbhawa sebelumnya, lalu ia menjelaskan kepada sang
rsi. “Dalam kehidupanku terdahulu
aku adalah seorang pemburu di Varanasi yang bernama Susvara. Kebiasaanku adalah
membunuh dan menjual burung-burung dan binatang lainnya. Suatu hari aku berburu
ke hutan, aku menangkap seekor kijang, namun hari keburu gelap. Aku tidak bisa
pulang, kijang itu kuikat di sebatang pohon. Lalu aku naik sebatang pohon
bilva. Karena aku lapar dan haus, aku tidak dapat tidur. Aku teringat anak
istriku yang malang di rumah, menungguku pulang dengan rasa lapar dan gelisah.
Untuk melewatkan malam aku memetik daun bilva dan menjatuhkannya ke tanah.” Kisah
selanjutnya mirip denga kisah Lubdaka di Indonesia.
Purana
Sivaratri juga dimuat
dalam purana-purana, yang umumnya berisi kisah-kisah pemburu yang sadar,
seperti berikut:
Pertama, Siva Purana (bagian Jnanasamhita). Pada bagian
ini memuat percakapan antara Suta dengan para rsi, menguraikan pentingnya
upacara Sivaratri. Seseorang bernama Rurudruha seperti telah disinggung di atas.
Kedua, Skanda Purana
(bagian Kedarakanda). Pada bagian Kedarakanda antara lain memuat percakapan
antara Lomasa dengan para rsi. Lomasa menceritakan kepada para rsi tentang si
Canda yang jahat, pembunuh segala mahluk, sampai membunuh brahmana, akhirnya
dapat mengerti dan menghayati apa yang disebut ”kebenaran” Dalam Skanda Purana
juga diceritakan kisah seorang pemburu yang identik dengan kisah pemburu dalam
Santi Parva
Ketiga, Garuda Purana (bagian Acarakanda). Bagian ini
memuat uraian singkat tentang Sivaratri diceritakan bahwa Parvati bertanya
tentang brata yang terpenting. Siva menguraikan tentang pelaksanaan vrata
Sivaratri. Seorang raja bernama Sudarasenaka pergi berburu ke hutan bersama
seekor anjing. Rangkaian kisah inipun tidak berbeda dengan kisah pemburu di
atas. Keempat, Padma Purana
(bagian Uttarakanda). Bagian ini memuat percakapan raja Dilipa denganWasista.
Wasista menceritakan bahwa Sivaratri adalah vrata yang sangat utama, antara
bulan Magha dan Palghuna. Dalam Padma Purana, pemburu itu bernama Nisadha.
Berkat vrata Sivaratri yang dilakukannya berhasil membawanya ke Siva loka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar